Sabtu, 06 Desember 2014

kemiskinan dan keterbelakangan di papua



kemiskinan dan keterbelakangan di papua

 Kemiskinan adalah kondisi umum yang dijumpai pada kehidupan masyarakat asli di Tanah Papua. Hal kemiskinan dan keterbelakangan sebagai akibat dari ketertindasan masyarakat asli Papua ini nampak pada rendahnya pendapatan keluarga, rendahnya pendidikan, tingginya angka orang sakit yang tidak tertolong, dan tingginya kematian ibu dan anak (bayi). Masyarakat asli Papua hidup dalam serba kesulitan dan keterbatasan, karena kebijakan publik dari pemerintah yang tidak memihak dan menguntungkan rakyat. Berbagai macam produk hukum berupa peraturan perundang-undangan tidak mengakomudir hak-hak dasar masyarakat dan tidak bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat di bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan dan politik, termasuk hak akses masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Sebagai akibat dari pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat adalah kerusakan hutan yang membawa efek pada kesulitan akses air bersih dan pangan lokal.
Kebutuhan dasar rakyat yang meliputi pangan dan air bersih, juga merupakan hal yang semakin sulit dipenuhi. Kesulitan air bersih disebabkan oleh kondisi alam di Papua yang terdiri dari gunung-gunung terjal dan sebagian besar rawa-rawa dan sungai keruh. Di banyak tempat di Papua, masyarakat bertahan hidup dengan mengkonsumsi air hujan. Sementara itu rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan pangannya. Hutan sagu telah banyak digusur oleh pengusaha HPH, dan Hutan mangrove di pesisir laut dan pantai sebagai sumber udang dan ikan juga dikeruk habis oleh investor. Rakyat kini juga mulai terbiasa dengan beras miskin (raskin) yang dibagikan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan konsumsi rakyat bergeser dari sagu dan ubi ke beras. Jika raskin tidak ada, rakyat harus membeli beras, sementara sagu dan keladi semakin menghilang dari lahan-lahan mereka. Efek lain adalah tergesernya pola hidup produktif menjadi konsumtif sangat nampak pada masyarakat asli Papua, karena secara langsung maupun tidak langsung pemerintah telah menciptakan ketergantungan masyarakat pada bantuan pemerintah dan bahan makanan yang diimport/dipasok dari luar Papua, termasuk beras miskin (raskin) yang didatangkan dari Taiwan. Mengapa tidak membangun dari dan dengan apa yang sudah ada pada masyarakat Papua?
Pada tahun 2005-2006, Indonesia kembali tersentak oleh sebuah berita mengenaskan dari Papua. Cerita ini merupakan sebuah defacto pengalaman pahit di Yahukimo. Lebih dari 55 penduduk meninggal dunia dan 112 orang sakit di Kabupaten Yahukimo. Bukan lantaran wabah penyakit mereka meregang nyawa, tapi akibat kelaparan. Bagaimana bisa? Di Indonesia yang subur dan makmur masih ada penduduk mengalami kelaparan. Tapi, inilah kenyataan. Kelaparan di tujuh (7) distrik dan 10 pos pemerintahan di Kabupaten Yahukimo, disebabkan sekitar 55.000 penduduk di tujuh distrik itu kehabisan makanan umbi-umbian karena terlambat menanam dan gagal panen. Daerah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya ini hanya dapat dijangkau dengan pesawat terbang. Bupati Yahokimo Ones Pahebol membenarkan bahwa kondisi masyarakat di tujuh distrik dan 10 pos pemerintahan di Yahokimo sangat memprihatinkan. Penduduk di daerah itu tak lagi memiliki makanan apa pun untuk dikonsumsi. ”Makanan umbi-umbian sudah habis sejak Oktober 2005. Tidak ada jenis makanan lain karena masyarakat terlambat menanam, sementara hasil panen tahun 2006 dipastikan gagal total karena kekeringan”.
Biasanya masyarakat membuat kebun dan melalui proses tanam hingga panen umbi-umbian tepat waktu, tetapi sekitar enam bulan lalu ada kegiatan musiman di distrik-distrik tersebut sehingga mereka terlambat menanam pada tahun 2005 dan gagal panen pada tahun 2006 karena kekeringan. Sementara masyarakat yang berdiam di daerah pegunungan di Yahukimo sangat bergantung pada satu jenis makanan hutan yang disebut ”kelapa hutan”. Ketika musim kelapa hutan tiba, masyarakat dengan mudah mengonsumsi makanan ini tanpa harus bekerja. Mereka bisa mengambil kelapa hutan itu dari hutan dengan leluasa, kemudian merebus dan memakannya. Namun, ketika musim itu berganti, masyarakat tidak memiliki bahan makanan lagi karena mereka tidak mempersiapkan bahan pangan cadangan. Mereka tetap menunggu musim kelapa hutan tiba kembali. Padahal, kelapa hutan itu tumbuh secara musiman dan tidak menentu. Masalah lain, di gunung-gunung dan bukit tempat tinggal warga tersebut tidak ada pasar. Daerah itu sangat terisolasi dan jauh dari pusat ibu kota kabupaten maupun provinsi. Akses masyarakat sangat terbatas. Kondisi kesehatan masyarakat di sana juga tergolong buruk. Banyak yang menderita TB paru, infeksi saluran pernapasan akut, muntah berak, dan malaria. Tidak ada sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas, apalagi petugas kesehatan yang bertugas di daerah-daerah itu. ”Saat ini masyarakat di tujuh distrik itu butuh makanan, obat-obatan, dan tenaga medis. Yang cepat memberi perhatian adalah bantuan dari Pemerintah Daerah Asmat berupa satu ton beras, tetapi tidak cukup dibagikan kepada penduduk yang mengalami kelaparan karena terbatas”.
Pendirian Yahukimo ditetapkan menurut Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2002. Kabupaten ini merupakan kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya dan diresmikan pada 12 April 2003. Nama Yahukimo berasal dari nama empat suku yang bermukim di sana, yaitu Yali, Hubla, Kimyal, dan Momuna. Di kabupaten ini terdapat dua daerah yang cukup terkenal untuk penggemar trekking, yaitu Kurima dan Anggruk. Pada 9 Desember 2005, dilaporkan bahwa sekitar 55 orang penduduk di Kecamatan Krapon meninggal dunia akibat kelaparan karena terlambat menanam umbi-umbian yang menjadi sumber makanan di daerah tersebut. Daerah tersebut terpencil dan hanya dapat dijangkau melalui pesawat terbang. Pada Pemilu 2004, Yahukimo dibagi kepada tiga distrik pemilihan, yaitu Kurima, Ninia, dan Anggruk. Ada 90 desa di kabupaten ini. Saat peristiwa kelaparan dilaporkan pada Desember 2005, terdapat sedikitnya tujuh distrik. Sejak dibentuk pada April 2003 hingga sekitar September 2005, Yahukimo diperintah dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Bupatinya baru mulai menempati kantor di Sumohai sejak September 2005.
Sementara itu, pada 15 Desember 2005 Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie menyangkal fakta-fakta di lapangan bahwa tidak ada kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua yang ada penduduk mengalami kekurangan bahan makanan pokok ubi jalar akibat gagal panen. "Hasil kunjungan Tim Gabungan dipimpin Menko Kesra ke lokasi yang dianggap daerah bencana di Yahukimo, (11/12) tidak ditemukan telah atau sedang terjadi wabah kelaparan, terbukti sebagian besar penduduk berbadan gemuk, tanaman jagung, pisang dan kubis tumbuh subur," katanya kepada pers, di Jakarta, Kamis sore (15/12). Menurut Ical (panggilan Aburizal Bakrie), sejumlah pemberitaan yang menyebutkan 55 warga Yahukimo tewas dalam empat bulan terakhir akibat kelaparan berdasarkan laporan LSM adalah data yang belum diverifikasi kebenarannya. Sedangkan menurutnya, ratusan warga Yahukimo dilaporkan sakit saat ini karena sakit malaria, cacingan dan bukan karena busung lapar.
Pemerintah mengirimkan bantuan sejak berita dugaan kelaparan di Yahukimo disiarkan media pada (10/12), yakni sekitar 45 ton berupa bahan makanan dan obat-obatan serta pada Januari 2006 akan dikirm bantuan senilai Rp 21 miliar berupa bahan makanan dan obat-obatan untuk jangka waktu enam bulan. Pada kesempatan terpisah, Menko Kesra menyatakan bantuan bahan makanan, obat-obatan dan tim dokter telah sampai di 13 titik wilayah rawan pangan di Kabupaten Yahukimo. "Makanan, dan obat-obatan sudah sampai ke sana. Dokter-dokter sudah memberikan konfirmasi bahwa tidak ada bencana kelaparan. Dan semua dokter masih ada di sana semua," katanya. Sementara utuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal serupa di masa mendatang, tambah Menko kesra pemerintah akan melakukan beberapa langkah yakni, setiap titik (desa) di wilayah Yahukimo akan dilengkapi dengan peralatan komunikasi berupa Single Side Band (SSB) untuk 91 desa.
Satu komunitas disana itu hanya ada sekitar 100 sampai 200 orang. Dan sulit transportasinya, hanya bisa jalan kaki, sehingga perlu alat komunikasi," kata Ical. Upaya lain, pemerintah akan membangun lumbung-lumbung pangan dan mengirimkan penyuluh pertanian, agar mereka tidak tergantung oleh musim. Selain itu, program jangka panjang untuk mencegah rawan pangan di Kabupaten Yahukimo, yakni peningkatan metode pertanian, sarana kesehatan dan pendidikan dasar, membangun jalan raya menghubungkan Jayapura dan Merauke serta penciptaan pusat pertumbuhan agar terjadi migrasi natural dari gunung ke kota. Meski upaya penanggulangan bencana kekeringan di Kabupaten Yahukimo oleh pemerintah pusat yang penangganannya langsung dibawah Interdep (Lintas Departemen) dengan dana bantuan sebesar Rp 68 miliar, namun DPRD Yahukimo tetap meminta agar dana itu diaudit penggunaannya.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Yahukimo Abok Busup,S.Th,M.Si menilai, Interdep telah gagal melaksanakan upaya penanggulangan bencana kekeringan di Yahukimo, mengingat selain program pengadaan sembilan bahan makanan (bama) pokok bagi 17 titik wilayah rawan bencana kekeringan tidak terelisasi dengan baik, Bama yang seharusnya diberikan dengan gratis malah disalahgunakan dengan diperjualbelikan. “Selain itu, program pengembangan varietes umbi bagi masyarakat tidak tersosialisasi dengan baik, bahkan saat ini dari 17 titik yang dijadikan lahan untuk pengembangan varietas tersebut tidak berjalan lagi," tegas Abok Busup kepada wartawan, kemarin. Dikatakan, gagalnya program penanggulangan bencana kekeringan yang berlangsung kurang lebih sembilan bulan dan baru berakhir pada akhir Agustus lalu itu dinilai karena tidak dilibatkannya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program penanggulangan bencana kekeringan. " Kami di daerah sama sekali tidak dilibatkan dalam pelaksanaan program-program penanggulangan bencana ini, semua dihandel langsung oleh tim yang disebut Interdep yang langsung datang dari pusat, baik itu tenaga dokter dan lainnya sebagainya. Sehingga kalau program ini gagal maka yang bertanggungjawab terhadap penggunaan dana bantuan sebesar Rp 68 miliar itu adalah Tim Interdep.
Kegagalan pelaksanaan program penanggulangan bencana kekeringan di Kabupaten Yahukimo dapat dilihat dari program pengembangan varietes umbi jalar yang seharusnya dilaksanakan di 17 titik wilayah rawan kekeringan tetapi yang berhasil dilaksankan hanya di ibukota Yahukimo, yakni Dekai saja, semenatara di 16 titik lainnya tidak ada hasilnya. Untuk itu sebagai wakil rakyat, dirinya meminta agar penggunaan dana bantuan kekeringan diKabupaten Yahukimo di Audit mengingat terindikasi terjadi penyimpangan penggunaan anggaran.
Ironisnya, Gubernur Papua J.P. Salossa dengan enteng mengatakan, kelaparan di Yahukimo itu hal lumrah. Kelaparan terjadi karena kondisi alam tidak memungkinkan menanam tumbuhan umbi-umbian sebagai makanan pokok penduduk. "Yahukimo sebagian merupakan daerah panas, malaria juga bisa masuk ke sana," ucap Salossa. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie yang telah berkunjung ke Yahukimo pun membantah ada kelaparan. Menurut dia, yang terjadi adalah gejala awal kelaparan. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesra Sutejo Yuwono kembali memastikan, tidak semua dari 55 warga Yahukimo meninggal akibat kelaparan. Data dari LSM dianggap sumir karena catatan resmi dari pejabat lokal soal indikasi penyebab kematian tidak tersedia. Pemerintah saat ini, kata Sutejo, berpegang pada hasil penyelidikan tim medis bersama tim Kementerian Kesra. "Yang dideteksi oleh dokter, baru-baru ini, tidak ada warga terindikasi kelaparan," jelas dia. Gagal panen seperti dilansir media massa belakangan ini juga tidak terbukti. "Ada tumbuhan jagung, pisang, sayuran, dan ternak babi mereka gemuk," tambah Tejo.
Peneliti sosial asal Papua Natalies Pigay menyangsikan fakta yang dibeberkan Kementerian Kesra. "Saya khawatir [pemeriksaan] hanya di Sumohai [daerah perkotaan]," ucap Natalies yang turut menjadi narasumber dalam dialog SCTV. Namun, Natalies mengajak tidak berdebat soal angka dan penyebab kematian. Tindakan nyata mengatasi masalah tersebut yang ditunggu. Sebab, persoalan kelaparan di Yahukimo kerap terjadi, yaitu sekitar tahun 1989, 1997, dan 2004. Menurut Profesor Budi Santoso, antropolog dari Universitas Indonesia, masyarakat Papua masih mengandalkan alam sebagai sumber kehidupan. Layaknya masyarakat tradisional, mereka mencari makan hanya untuk keperluan satu hari. "Sambil berburu kadal," kata Budi yang pernah meneliti kehidupan masyarakat Papua. Mereka tidak pernah menyimpan makanan untuk jangka waktu panjang dan tidak mengenal pasar seperti lumrah di pulau-pulau lain di Indonesia. "Sangat bergantung pada kemurahan alam," ujar dia. Mengingat pola hidup seperti itu, kata Budi, memungkinkan sekali warga Yahukimo yang termasuk wilayah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya mengalami underfood atau kelaparan. Sebab, kekebalan tubuh kurang sehingga mudah terserang penyakit. Terlebih, tenaga medis di sana minim. Bayangkan untuk satu kabupaten hanya tersedia seorang dokter dan satu pusat kesehatan masyarakat. Yahukimo dalam pandangan Natalies adalah wilayah terisolasi dengan tingkat pendidikan sangat rendah.

Natalies juga menyebut sebagai masyarakat telanjang di Abad 21. Pasalnya, hanya sedikit penduduk di kabupaten yang 90 persen tanahnya merupakan hutan, berpakaian seperti layaknya manusia. Dia membenarkan, penduduk Yahukimo tidak mengenal mekanisme pasar dan hidup nomaden mencari lahan untuk berladang. "Situasi seperti ini pemerintah sudah tahu, tapi tidak pernah ada antisipasi," tegas dia. Pemekaran wilayah yang terlalu banyak dinilai Natalies juga menjadi penyebab kelaparan terjadi. Untuk mengakali kondisi demikian Natalies berharap pemerintah membuat lumbung di setiap kecamatan bahkan sampai ke desa. Adanya lumbung makanan di Wamena--pusat pemerintahan sementara Yahukimo--kurang tidak dirasakan manfaatnya oleh penduduk yang rata-rata tinggal di pelosok. "Ibarat tikus mati di lumbung padi," kata Natalies.
Secara umum wilayah Papua, kata Tejo, memang lebih tertinggal karena ketersediaan infrastruktur dan petugas belum maksimal. Namun, dia tidak setuju jika penduduk Yahukimo disebut tidak mengenal pakaian. Bahkan mereka sudah memahami pentingnya pendidikan. "Satu atau dua warga mulai berdagang ke kota untuk mencari biaya anak sekolah," papar Tejo. Soal membuat lumbung, menurut Tejo, masih menunggu keputusan pejabat setempat untuk mencari bentuk lumbung yang tepat. Agar persoalan serupa tidak terjadi lagi Kementerian Kesra menurunkan tenaga penyuluh untuk mengarahkan penduduk supaya tidak melulu menanam ubi jalar. "Bisa dimodifikasi antara jagung atau ketela pohon," tutur Tejo. Sarana komunikasi dan informasi juga tengah disiapkan. Jajaran Kementerian Kesra dalam waktu dekat akan kembali ke Yahukimo. Dengan melibatkan LSM setempat pemerintah mengajak duduk bersama mencari solusi mengubah pola hidup masyarakat yang sudah mengakar. Natalies setuju konsep yang dipaparkan Tejo. "Tapi, lebih bagus jika dibuat dalam perjanjian," ujar dia.
Busung lapar dan gizi buruk bukan cuma "monopoli" masyarakat Yahukimo. Puluhan bocah di sebagian Pulau Jawa, Nusatenggara Barat, dan Nusatenggara Timur juga menderita penyakit sejenis. Bedanya, kasus di ketiga wilayah itu disebabkan kemiskinan. Pemerintah memang bergerak cepat. Miliaran rupiah digelontorkan untuk membantu korban. Dan, untuk satu sampai tiga bulan bantuan itu cukup. Masyarakat kembali kalut setelah bantuan habis. Mereka pun kembali berjuang mengais rejeki untuk membeli sesuap nasi.
Selain cerita dari wilayah pegunungan Yahukimo di atas, kondisi kehidupan masyarakat pesisir pantai dan pemukim di daerah aliran sungai (DAS) juga sama halnya. Orang asli Papua di dataran rendah, pesisir pantai dan DAS pada umumnya kehilangan lahan untuk berkebun, areal berburu dan menokok sagu karena tanah adat mereka sudah dikapling-kapling untuk kepentingan perusahaan-perusahaan skala besar seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), pertambangan, pemukiman transmigrasi, pemukiman perkotaan dan lain sebagainya. Misalnya, di Kabupaten Sarmi-Mamberamo, masyarakat kehilangan hak akses atas areal seluas 2 juta hektar yang telah dikapling untuk HTI perkebunan sawit dan singkong (biofeol). Di kabupaten Waropen, masyarakat kehilangan lahan seluas 60,000 hektar untuk lahan konsesi pertambangan. Di Teluk Wondama, masyarakat kehilangan lahan seluas 80,000 hektar untuk HTI perkebunan sawit. Di Teluk Bintuni, masyarakat kehilangan lahan seluas 3000 hektar karena proyek kilangan gas alam cair LNG Tangguh (BP Indonesia) dan 90,000 hektar untuk HTI perkebunan sawit dan transmigrasi nasional. Kabupaten Manokwari telah membuka lahan 13,850 dari 17,000 hektar yang disediakan untuk HTI perkebunan sawit dan 47,000 hektar untuk HTI perkebunan pohon karet. Sementara di Sorong, PT. Intimpura telah mengubah areal HPH menjadi HTI perkebunan sawit seluas 5200 hektar dan 3000 hektar di Sorong Selatan untuk HTI perkebunan sawit. Di pulau Ayau, Raja Ampat, masyarakat kehilangan 1200 hektar yang diklaim untuk pertambangan dan 750 hektar untuk HTI perkebunan sawit. Dengan melihat kondisi seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa HPH dapat berlih menjadi HTI untuk kepentingan Pertambangan yang justru menjadi penyebab hilangnya hak masyarakat asli Papua, dan kerusakan lingkungan yang lebih fatal buruknya karena pengelolaannya tidak berkelanjutan. Pembangunan seperti ini justru mengancam ketahanan hidup masyarakat lokal di Papua. Kebiasaan masyarakat adat/asli di Papua pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah melakukan usaha-usaha sesuai dengan kearifan lokal yang sudah ada sejak zaman leluhurnya.
Mereka memanfaatkan sumberdaya hutan dan sungai secara tradisional. Mereka melaut dan meramu hasil hutan, berburu dan berkebun dalam ukuran kecil hanya untuk menanam ubi-ubian dan sayur mayur. Ketika perusahaan-perusahaan HPH, HTI dan pertambangan masuk ke wilayah mereka, sebagian masyarakat ikut bekerja sebagai tenaga kerja buruh kasar (tukang pikul) di perusahaan dengan upah di bawah standar UMR Papua. Sedangkan sebagian besar tidak dapat diserap sebagai tenaga kerja di perusahaan. Namun, pada umumnya masyarakat bukan hidup dari upah kerja di perusahaan. Kini dampak buruk tebang habis yang dilakukan perusahaan mulai terasakan oleh masyarakat sekitar. Sagu yang tumbuh subur telah berkurang drastis karena dibabat perusahaan, sedangkan mesin-mesin mereka melindas pohon-pohon sagu kecil yang mulai tumbuh. Pemerintah daerah sendiri tidak ambil peduli dengan keadaan ini, bahkan pemerintah pernah mengijinkan beroperasinya PT. Sagindo Lestari, sebuah perusahaan tepung Sagu milik PT. Djayanti Group, di distrik Aranday – Teluk Bintuni yang dahulu kaya pohon Sagu, sekarang rawan pangan karena pohon sagu habis ditebang tanpa penanaman kembali.
Masuknya unsur beras miskin (raskin) yang difasilitasi oleh pemerintah justru membuat masyarakat bergantung pada beras miskin tersebut. Sagu dan ubi-ubian sudah digeser oleh ‘beras miskin’. Jika dalam sebulan jatah beras miskin tidak diperoleh karena keterlambatan pihak pemerintah distrik dalam mengurus prosesnya, maka artinya selama sebulan itu masyarakat tidak mempunyai makanan alternatif lain. Sedangkan untuk memperoleh sagu pun membutuhkan waktu cukup lama, karena hutan sagu kini letaknya sangat jauh, harus diambil dengan menggunakan sarana perahu dayung atau motor johnson dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat mahal. (Dari Berbagai Sumber)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar