kemiskinan dan keterbelakangan di papua
Kemiskinan adalah kondisi umum yang dijumpai
pada kehidupan masyarakat asli di Tanah Papua. Hal kemiskinan dan
keterbelakangan sebagai akibat dari ketertindasan masyarakat asli Papua ini
nampak pada rendahnya pendapatan keluarga, rendahnya pendidikan, tingginya
angka orang sakit yang tidak tertolong, dan tingginya kematian ibu dan anak
(bayi). Masyarakat asli Papua hidup dalam serba kesulitan dan keterbatasan,
karena kebijakan publik dari pemerintah yang tidak memihak dan menguntungkan
rakyat. Berbagai macam produk hukum berupa peraturan perundang-undangan tidak
mengakomudir hak-hak dasar masyarakat dan tidak bertujuan untuk pemenuhan
kebutuhan dasar rakyat di bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan
dan politik, termasuk hak akses masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya
alam yang berkelanjutan. Sebagai akibat dari pembangunan yang tidak berwawasan
lingkungan dan berbasis masyarakat adalah kerusakan hutan yang membawa efek
pada kesulitan akses air bersih dan pangan lokal.
Kebutuhan dasar
rakyat yang meliputi pangan dan air bersih, juga merupakan hal yang semakin
sulit dipenuhi. Kesulitan air bersih disebabkan oleh kondisi alam di Papua yang
terdiri dari gunung-gunung terjal dan sebagian besar rawa-rawa dan sungai
keruh. Di banyak tempat di Papua, masyarakat bertahan hidup dengan mengkonsumsi
air hujan. Sementara itu rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan pangannya.
Hutan sagu telah banyak digusur oleh pengusaha HPH, dan Hutan mangrove di
pesisir laut dan pantai sebagai sumber udang dan ikan juga dikeruk habis oleh
investor. Rakyat kini juga mulai terbiasa dengan beras miskin (raskin) yang
dibagikan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan konsumsi rakyat bergeser dari
sagu dan ubi ke beras. Jika raskin tidak ada, rakyat harus membeli beras,
sementara sagu dan keladi semakin menghilang dari lahan-lahan mereka. Efek lain
adalah tergesernya pola hidup produktif menjadi konsumtif sangat nampak pada
masyarakat asli Papua, karena secara langsung maupun tidak langsung pemerintah
telah menciptakan ketergantungan masyarakat pada bantuan pemerintah dan bahan
makanan yang diimport/dipasok dari luar Papua, termasuk beras miskin (raskin)
yang didatangkan dari Taiwan. Mengapa tidak membangun dari dan dengan apa yang
sudah ada pada masyarakat Papua?
Pada tahun
2005-2006, Indonesia kembali tersentak oleh sebuah berita mengenaskan dari
Papua. Cerita ini merupakan sebuah defacto pengalaman pahit di Yahukimo. Lebih
dari 55 penduduk meninggal dunia dan 112 orang sakit di Kabupaten Yahukimo.
Bukan lantaran wabah penyakit mereka meregang nyawa, tapi akibat kelaparan.
Bagaimana bisa? Di Indonesia yang subur dan makmur masih ada penduduk mengalami
kelaparan. Tapi, inilah kenyataan. Kelaparan di tujuh (7) distrik dan 10 pos
pemerintahan di Kabupaten Yahukimo, disebabkan sekitar 55.000 penduduk di tujuh
distrik itu kehabisan makanan umbi-umbian karena terlambat menanam dan gagal
panen. Daerah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya ini hanya dapat dijangkau
dengan pesawat terbang. Bupati Yahokimo Ones Pahebol membenarkan bahwa kondisi
masyarakat di tujuh distrik dan 10 pos pemerintahan di Yahokimo sangat
memprihatinkan. Penduduk di daerah itu tak lagi memiliki makanan apa pun untuk
dikonsumsi. ”Makanan umbi-umbian sudah habis sejak Oktober 2005. Tidak ada
jenis makanan lain karena masyarakat terlambat menanam, sementara hasil panen
tahun 2006 dipastikan gagal total karena kekeringan”.
Biasanya
masyarakat membuat kebun dan melalui proses tanam hingga panen umbi-umbian
tepat waktu, tetapi sekitar enam bulan lalu ada kegiatan musiman di
distrik-distrik tersebut sehingga mereka terlambat menanam pada tahun 2005 dan
gagal panen pada tahun 2006 karena kekeringan. Sementara masyarakat yang
berdiam di daerah pegunungan di Yahukimo sangat bergantung pada satu jenis
makanan hutan yang disebut ”kelapa hutan”. Ketika musim kelapa hutan tiba,
masyarakat dengan mudah mengonsumsi makanan ini tanpa harus bekerja. Mereka
bisa mengambil kelapa hutan itu dari hutan dengan leluasa, kemudian merebus dan
memakannya. Namun, ketika musim itu berganti, masyarakat tidak memiliki bahan
makanan lagi karena mereka tidak mempersiapkan bahan pangan cadangan. Mereka
tetap menunggu musim kelapa hutan tiba kembali. Padahal, kelapa hutan itu
tumbuh secara musiman dan tidak menentu. Masalah lain, di gunung-gunung dan
bukit tempat tinggal warga tersebut tidak ada pasar. Daerah itu sangat
terisolasi dan jauh dari pusat ibu kota kabupaten maupun provinsi. Akses
masyarakat sangat terbatas. Kondisi kesehatan masyarakat di sana juga tergolong
buruk. Banyak yang menderita TB paru, infeksi saluran pernapasan akut, muntah
berak, dan malaria. Tidak ada sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas,
apalagi petugas kesehatan yang bertugas di daerah-daerah itu. ”Saat ini
masyarakat di tujuh distrik itu butuh makanan, obat-obatan, dan tenaga medis.
Yang cepat memberi perhatian adalah bantuan dari Pemerintah Daerah Asmat berupa
satu ton beras, tetapi tidak cukup dibagikan kepada penduduk yang mengalami
kelaparan karena terbatas”.
Pendirian Yahukimo
ditetapkan menurut Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2002. Kabupaten ini
merupakan kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya dan diresmikan pada 12
April 2003. Nama Yahukimo berasal dari nama empat suku yang bermukim di sana,
yaitu Yali, Hubla, Kimyal, dan Momuna. Di kabupaten ini terdapat dua daerah
yang cukup terkenal untuk penggemar trekking, yaitu Kurima dan Anggruk. Pada 9
Desember 2005, dilaporkan bahwa sekitar 55 orang penduduk di Kecamatan Krapon
meninggal dunia akibat kelaparan karena terlambat menanam umbi-umbian yang
menjadi sumber makanan di daerah tersebut. Daerah tersebut terpencil dan hanya
dapat dijangkau melalui pesawat terbang. Pada Pemilu 2004, Yahukimo dibagi
kepada tiga distrik pemilihan, yaitu Kurima, Ninia, dan Anggruk. Ada 90 desa di
kabupaten ini. Saat peristiwa kelaparan dilaporkan pada Desember 2005, terdapat
sedikitnya tujuh distrik. Sejak dibentuk pada April 2003 hingga sekitar
September 2005, Yahukimo diperintah dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya.
Bupatinya baru mulai menempati kantor di Sumohai sejak September 2005.
Sementara itu,
pada 15 Desember 2005 Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra)
Aburizal Bakrie menyangkal fakta-fakta di lapangan bahwa tidak ada kelaparan di
Kabupaten Yahukimo, Papua yang ada penduduk mengalami kekurangan bahan makanan
pokok ubi jalar akibat gagal panen. "Hasil kunjungan Tim Gabungan dipimpin
Menko Kesra ke lokasi yang dianggap daerah bencana di Yahukimo, (11/12) tidak
ditemukan telah atau sedang terjadi wabah kelaparan, terbukti sebagian besar
penduduk berbadan gemuk, tanaman jagung, pisang dan kubis tumbuh subur,"
katanya kepada pers, di Jakarta, Kamis sore (15/12). Menurut Ical (panggilan
Aburizal Bakrie), sejumlah pemberitaan yang menyebutkan 55 warga Yahukimo tewas
dalam empat bulan terakhir akibat kelaparan berdasarkan laporan LSM adalah data
yang belum diverifikasi kebenarannya. Sedangkan menurutnya, ratusan warga
Yahukimo dilaporkan sakit saat ini karena sakit malaria, cacingan dan bukan
karena busung lapar.
Pemerintah
mengirimkan bantuan sejak berita dugaan kelaparan di Yahukimo disiarkan media
pada (10/12), yakni sekitar 45 ton berupa bahan makanan dan obat-obatan serta
pada Januari 2006 akan dikirm bantuan senilai Rp 21 miliar berupa bahan makanan
dan obat-obatan untuk jangka waktu enam bulan. Pada kesempatan terpisah, Menko
Kesra menyatakan bantuan bahan makanan, obat-obatan dan tim dokter telah sampai
di 13 titik wilayah rawan pangan di Kabupaten Yahukimo. "Makanan, dan
obat-obatan sudah sampai ke sana. Dokter-dokter sudah memberikan konfirmasi
bahwa tidak ada bencana kelaparan. Dan semua dokter masih ada di sana
semua," katanya. Sementara utuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
hal-hal serupa di masa mendatang, tambah Menko kesra pemerintah akan melakukan
beberapa langkah yakni, setiap titik (desa) di wilayah Yahukimo akan dilengkapi
dengan peralatan komunikasi berupa Single Side Band (SSB) untuk 91 desa.
Satu komunitas
disana itu hanya ada sekitar 100 sampai 200 orang. Dan sulit transportasinya,
hanya bisa jalan kaki, sehingga perlu alat komunikasi," kata Ical. Upaya
lain, pemerintah akan membangun lumbung-lumbung pangan dan mengirimkan penyuluh
pertanian, agar mereka tidak tergantung oleh musim. Selain itu, program jangka
panjang untuk mencegah rawan pangan di Kabupaten Yahukimo, yakni peningkatan
metode pertanian, sarana kesehatan dan pendidikan dasar, membangun jalan raya
menghubungkan Jayapura dan Merauke serta penciptaan pusat pertumbuhan agar
terjadi migrasi natural dari gunung ke kota. Meski upaya penanggulangan bencana
kekeringan di Kabupaten Yahukimo oleh pemerintah pusat yang penangganannya
langsung dibawah Interdep (Lintas Departemen) dengan dana bantuan sebesar Rp 68
miliar, namun DPRD Yahukimo tetap meminta agar dana itu diaudit penggunaannya.
Wakil Ketua
DPRD Kabupaten Yahukimo Abok Busup,S.Th,M.Si menilai, Interdep telah gagal
melaksanakan upaya penanggulangan bencana kekeringan di Yahukimo, mengingat
selain program pengadaan sembilan bahan makanan (bama) pokok bagi 17 titik
wilayah rawan bencana kekeringan tidak terelisasi dengan baik, Bama yang
seharusnya diberikan dengan gratis malah disalahgunakan dengan
diperjualbelikan. “Selain itu, program pengembangan varietes umbi bagi
masyarakat tidak tersosialisasi dengan baik, bahkan saat ini dari 17 titik yang
dijadikan lahan untuk pengembangan varietas tersebut tidak berjalan lagi,"
tegas Abok Busup kepada wartawan, kemarin. Dikatakan, gagalnya program
penanggulangan bencana kekeringan yang berlangsung kurang lebih sembilan bulan
dan baru berakhir pada akhir Agustus lalu itu dinilai karena tidak
dilibatkannya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program
penanggulangan bencana kekeringan. " Kami di daerah sama sekali tidak
dilibatkan dalam pelaksanaan program-program penanggulangan bencana ini, semua
dihandel langsung oleh tim yang disebut Interdep yang langsung datang dari
pusat, baik itu tenaga dokter dan lainnya sebagainya. Sehingga kalau program
ini gagal maka yang bertanggungjawab terhadap penggunaan dana bantuan sebesar
Rp 68 miliar itu adalah Tim Interdep.
Kegagalan
pelaksanaan program penanggulangan bencana kekeringan di Kabupaten Yahukimo
dapat dilihat dari program pengembangan varietes umbi jalar yang seharusnya
dilaksanakan di 17 titik wilayah rawan kekeringan tetapi yang berhasil dilaksankan
hanya di ibukota Yahukimo, yakni Dekai saja, semenatara di 16 titik lainnya
tidak ada hasilnya. Untuk itu sebagai wakil rakyat, dirinya meminta agar
penggunaan dana bantuan kekeringan diKabupaten Yahukimo di Audit mengingat
terindikasi terjadi penyimpangan penggunaan anggaran.
Ironisnya,
Gubernur Papua J.P. Salossa dengan enteng mengatakan, kelaparan di Yahukimo itu
hal lumrah. Kelaparan terjadi karena kondisi alam tidak memungkinkan menanam
tumbuhan umbi-umbian sebagai makanan pokok penduduk. "Yahukimo sebagian
merupakan daerah panas, malaria juga bisa masuk ke sana," ucap Salossa.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie yang telah berkunjung
ke Yahukimo pun membantah ada kelaparan. Menurut dia, yang terjadi adalah
gejala awal kelaparan. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesra Sutejo Yuwono
kembali memastikan, tidak semua dari 55 warga Yahukimo meninggal akibat
kelaparan. Data dari LSM dianggap sumir karena catatan resmi dari pejabat lokal
soal indikasi penyebab kematian tidak tersedia. Pemerintah saat ini, kata
Sutejo, berpegang pada hasil penyelidikan tim medis bersama tim Kementerian
Kesra. "Yang dideteksi oleh dokter, baru-baru ini, tidak ada warga
terindikasi kelaparan," jelas dia. Gagal panen seperti dilansir media massa
belakangan ini juga tidak terbukti. "Ada tumbuhan jagung, pisang, sayuran,
dan ternak babi mereka gemuk," tambah Tejo.
Peneliti sosial
asal Papua Natalies Pigay menyangsikan fakta yang dibeberkan Kementerian Kesra.
"Saya khawatir [pemeriksaan] hanya di Sumohai [daerah perkotaan],"
ucap Natalies yang turut menjadi narasumber dalam dialog SCTV. Namun, Natalies
mengajak tidak berdebat soal angka dan penyebab kematian. Tindakan nyata
mengatasi masalah tersebut yang ditunggu. Sebab, persoalan kelaparan di Yahukimo
kerap terjadi, yaitu sekitar tahun 1989, 1997, dan 2004. Menurut Profesor Budi
Santoso, antropolog dari Universitas Indonesia, masyarakat Papua masih
mengandalkan alam sebagai sumber kehidupan. Layaknya masyarakat tradisional,
mereka mencari makan hanya untuk keperluan satu hari. "Sambil berburu
kadal," kata Budi yang pernah meneliti kehidupan masyarakat Papua. Mereka
tidak pernah menyimpan makanan untuk jangka waktu panjang dan tidak mengenal
pasar seperti lumrah di pulau-pulau lain di Indonesia. "Sangat bergantung
pada kemurahan alam," ujar dia. Mengingat pola hidup seperti itu, kata
Budi, memungkinkan sekali warga Yahukimo yang termasuk wilayah pemekaran dari
Kabupaten Jayawijaya mengalami underfood atau kelaparan. Sebab, kekebalan tubuh
kurang sehingga mudah terserang penyakit. Terlebih, tenaga medis di sana minim.
Bayangkan untuk satu kabupaten hanya tersedia seorang dokter dan satu pusat
kesehatan masyarakat. Yahukimo dalam pandangan Natalies adalah wilayah
terisolasi dengan tingkat pendidikan sangat rendah.
Natalies juga menyebut sebagai masyarakat telanjang di Abad 21. Pasalnya, hanya sedikit penduduk di kabupaten yang 90 persen tanahnya merupakan hutan, berpakaian seperti layaknya manusia. Dia membenarkan, penduduk Yahukimo tidak mengenal mekanisme pasar dan hidup nomaden mencari lahan untuk berladang. "Situasi seperti ini pemerintah sudah tahu, tapi tidak pernah ada antisipasi," tegas dia. Pemekaran wilayah yang terlalu banyak dinilai Natalies juga menjadi penyebab kelaparan terjadi. Untuk mengakali kondisi demikian Natalies berharap pemerintah membuat lumbung di setiap kecamatan bahkan sampai ke desa. Adanya lumbung makanan di Wamena--pusat pemerintahan sementara Yahukimo--kurang tidak dirasakan manfaatnya oleh penduduk yang rata-rata tinggal di pelosok. "Ibarat tikus mati di lumbung padi," kata Natalies.
Natalies juga menyebut sebagai masyarakat telanjang di Abad 21. Pasalnya, hanya sedikit penduduk di kabupaten yang 90 persen tanahnya merupakan hutan, berpakaian seperti layaknya manusia. Dia membenarkan, penduduk Yahukimo tidak mengenal mekanisme pasar dan hidup nomaden mencari lahan untuk berladang. "Situasi seperti ini pemerintah sudah tahu, tapi tidak pernah ada antisipasi," tegas dia. Pemekaran wilayah yang terlalu banyak dinilai Natalies juga menjadi penyebab kelaparan terjadi. Untuk mengakali kondisi demikian Natalies berharap pemerintah membuat lumbung di setiap kecamatan bahkan sampai ke desa. Adanya lumbung makanan di Wamena--pusat pemerintahan sementara Yahukimo--kurang tidak dirasakan manfaatnya oleh penduduk yang rata-rata tinggal di pelosok. "Ibarat tikus mati di lumbung padi," kata Natalies.
Secara umum
wilayah Papua, kata Tejo, memang lebih tertinggal karena ketersediaan
infrastruktur dan petugas belum maksimal. Namun, dia tidak setuju jika penduduk
Yahukimo disebut tidak mengenal pakaian. Bahkan mereka sudah memahami
pentingnya pendidikan. "Satu atau dua warga mulai berdagang ke kota untuk
mencari biaya anak sekolah," papar Tejo. Soal membuat lumbung, menurut
Tejo, masih menunggu keputusan pejabat setempat untuk mencari bentuk lumbung yang
tepat. Agar persoalan serupa tidak terjadi lagi Kementerian Kesra menurunkan
tenaga penyuluh untuk mengarahkan penduduk supaya tidak melulu menanam ubi
jalar. "Bisa dimodifikasi antara jagung atau ketela pohon," tutur
Tejo. Sarana komunikasi dan informasi juga tengah disiapkan. Jajaran
Kementerian Kesra dalam waktu dekat akan kembali ke Yahukimo. Dengan melibatkan
LSM setempat pemerintah mengajak duduk bersama mencari solusi mengubah pola
hidup masyarakat yang sudah mengakar. Natalies setuju konsep yang dipaparkan
Tejo. "Tapi, lebih bagus jika dibuat dalam perjanjian," ujar dia.
Busung lapar
dan gizi buruk bukan cuma "monopoli" masyarakat Yahukimo. Puluhan
bocah di sebagian Pulau Jawa, Nusatenggara Barat, dan Nusatenggara Timur juga
menderita penyakit sejenis. Bedanya, kasus di ketiga wilayah itu disebabkan
kemiskinan. Pemerintah memang bergerak cepat. Miliaran rupiah digelontorkan
untuk membantu korban. Dan, untuk satu sampai tiga bulan bantuan itu cukup.
Masyarakat kembali kalut setelah bantuan habis. Mereka pun kembali berjuang
mengais rejeki untuk membeli sesuap nasi.
Selain cerita
dari wilayah pegunungan Yahukimo di atas, kondisi kehidupan masyarakat pesisir
pantai dan pemukim di daerah aliran sungai (DAS) juga sama halnya. Orang asli
Papua di dataran rendah, pesisir pantai dan DAS pada umumnya kehilangan lahan
untuk berkebun, areal berburu dan menokok sagu karena tanah adat mereka sudah
dikapling-kapling untuk kepentingan perusahaan-perusahaan skala besar seperti
HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), pertambangan,
pemukiman transmigrasi, pemukiman perkotaan dan lain sebagainya. Misalnya, di
Kabupaten Sarmi-Mamberamo, masyarakat kehilangan hak akses atas areal seluas 2
juta hektar yang telah dikapling untuk HTI perkebunan sawit dan singkong
(biofeol). Di kabupaten Waropen, masyarakat kehilangan lahan seluas 60,000
hektar untuk lahan konsesi pertambangan. Di Teluk Wondama, masyarakat
kehilangan lahan seluas 80,000 hektar untuk HTI perkebunan sawit. Di Teluk
Bintuni, masyarakat kehilangan lahan seluas 3000 hektar karena proyek kilangan
gas alam cair LNG Tangguh (BP Indonesia) dan 90,000 hektar untuk HTI perkebunan
sawit dan transmigrasi nasional. Kabupaten Manokwari telah membuka lahan 13,850
dari 17,000 hektar yang disediakan untuk HTI perkebunan sawit dan 47,000 hektar
untuk HTI perkebunan pohon karet. Sementara di Sorong, PT. Intimpura telah
mengubah areal HPH menjadi HTI perkebunan sawit seluas 5200 hektar dan 3000
hektar di Sorong Selatan untuk HTI perkebunan sawit. Di pulau Ayau, Raja Ampat,
masyarakat kehilangan 1200 hektar yang diklaim untuk pertambangan dan 750 hektar
untuk HTI perkebunan sawit. Dengan melihat kondisi seperti tersebut di atas,
maka dapat dipastikan bahwa HPH dapat berlih menjadi HTI untuk kepentingan
Pertambangan yang justru menjadi penyebab hilangnya hak masyarakat asli Papua,
dan kerusakan lingkungan yang lebih fatal buruknya karena pengelolaannya tidak
berkelanjutan. Pembangunan seperti ini justru mengancam ketahanan hidup
masyarakat lokal di Papua. Kebiasaan masyarakat adat/asli di Papua pada umumnya
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah melakukan usaha-usaha sesuai
dengan kearifan lokal yang sudah ada sejak zaman leluhurnya.
Mereka
memanfaatkan sumberdaya hutan dan sungai secara tradisional. Mereka melaut dan
meramu hasil hutan, berburu dan berkebun dalam ukuran kecil hanya untuk menanam
ubi-ubian dan sayur mayur. Ketika perusahaan-perusahaan HPH, HTI dan
pertambangan masuk ke wilayah mereka, sebagian masyarakat ikut bekerja sebagai
tenaga kerja buruh kasar (tukang pikul) di perusahaan dengan upah di bawah
standar UMR Papua. Sedangkan sebagian besar tidak dapat diserap sebagai tenaga
kerja di perusahaan. Namun, pada umumnya masyarakat bukan hidup dari upah kerja
di perusahaan. Kini dampak buruk tebang habis yang dilakukan perusahaan mulai
terasakan oleh masyarakat sekitar. Sagu yang tumbuh subur telah berkurang
drastis karena dibabat perusahaan, sedangkan mesin-mesin mereka melindas
pohon-pohon sagu kecil yang mulai tumbuh. Pemerintah daerah sendiri tidak ambil
peduli dengan keadaan ini, bahkan pemerintah pernah mengijinkan beroperasinya
PT. Sagindo Lestari, sebuah perusahaan tepung Sagu milik PT. Djayanti Group, di
distrik Aranday – Teluk Bintuni yang dahulu kaya pohon Sagu, sekarang rawan
pangan karena pohon sagu habis ditebang tanpa penanaman kembali.
Masuknya unsur
beras miskin (raskin) yang difasilitasi oleh pemerintah justru membuat
masyarakat bergantung pada beras miskin tersebut. Sagu dan ubi-ubian sudah
digeser oleh ‘beras miskin’. Jika dalam sebulan jatah beras miskin tidak
diperoleh karena keterlambatan pihak pemerintah distrik dalam mengurus
prosesnya, maka artinya selama sebulan itu masyarakat tidak mempunyai makanan
alternatif lain. Sedangkan untuk memperoleh sagu pun membutuhkan waktu cukup lama,
karena hutan sagu kini letaknya sangat jauh, harus diambil dengan menggunakan
sarana perahu dayung atau motor johnson dengan harga bahan bakar minyak (BBM)
yang sangat mahal. (Dari Berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar