Meracik Bubur, Menaklukkan Kehidupan
Tradisi merantau dan berwirausaha
ikut mengubah wajah pedesaan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Tradisi itu
pula yang membawa pemuda Kuningan berhasil menaklukkan kehidupan.
Para perantau asal Kuningan
dikenal sebagai wiraswasta ulung dan tangguh. Mereka menyebar dan mendirikan
usaha kecil-kecilan, tetapi menggurita. Salah satu usaha yang cukup dikenal
luas adalah warung bubur kacang hijau alias burjo yang sudah menjadi bagian
dari kehidupan warga kota.
Para perantau ini melanjutkan tradisi yang diawali
Salim Saca Santana, mantan Lurah Kaliwon Desa Balong, Kecamatan Garawangi
Utara, 60 tahun silam. Karena ekonomi desa sulit, Salim berjualan bubur untuk
mencukupi kebutuhan hidup.
Dalam buku Mengawetkan Pengalaman:
Dinamika Warung Bubur Kacang Hijau Kuningan yang ditulis Sukiman, disebutkan
bahwa Salim menyebarluaskan resep membuat burjo kepada warga desanya. Pada
1950, lima pemuda membawa resep itu sebagai bekal merantau. Dari situlah cikal
bakal para perantau burjo Kuningan berawal.
Kini, setelah 60 tahun berlalu, jumlah perantau
dari daerah ini diperkirakan lebih dari 2.000 orang. Mereka berasal dari 20
desa di Kecamatan Sindangagung dan Garawangi, Kabupaten Kuningan. Mereka
menyebar, memasuki nadi perekonomian warga di gang-gang sempit di kota-kota
besar, seperti Jakarta, di pelosok desa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, bahkan
hingga ke luar Jawa. Mengutip ungkapan E Supardja (65), juragan burjo dari Desa
Mekarmulya, Kecamatan Sindangagung, ”Di mana ada denyut kehidupan manusia, di
sanalah perantau burjo ada.
Jangan dibayangkan mereka datang dan merintis
bisnis dengan berbagai keahlian atau modal miliaran rupiah. Perantau ini hanya
berbekal tekad dan keterampilan membuat bubur serta rasa persaudaraan.
Aci Sukarji (40) adalah juragan
warung burjo dari Babakanreuma, Kecamatan Sindangagung, yang merantau hanya
dengan modal dengkul. Ia ikut tetangganya yang lebih dulu punya warung di
Jakarta, 15 tahun lalu. Selama merantau, Aci bekerja tiga tahun mengumpulkan
modal dan pengalaman. Dari sekadar uang receh Rp 1.000-an yang terkumpul,
ditambah hasil pinjam bank Rp 1,5 juta, Aci akhirnya bisa mendapatkan modal
untuk mendirikan warung.
Berbekal kacang hijau, mi instan, dan tetangga
sebagai pekerja, akhirnya warung itu jalan, kata Aci, akhir Februari lalu.
Penjual burjo yang bertahun-tahun ”mengukur” jalanan Ibu Kota dengan jalan kaki
itu kini sudah sedikit nyaman duduk di belakang Toyota Avanzanya.
Namun, tidak semua perantau yang mengandalkan
bisnis burjo selalu berujung manis. Jatuh bangun dalam berusaha selalu ada.
Mujahid, juragan burjo lain dari Kertayasa, Kecamatan Sindangagung, pernah
gagal membangun bisnis burjo di Yogyakarta. Kini ia bangkit lagi dengan bisnis
yang sama di desanya. Baginya, laku atau tidak adalah hal biasa dalam
berdagang.
Burjo memang bisnis sederhana.
Hasil penjualan dikurangi modal dan gaji karyawan, serta sewa tempat selama
setahun, adalah pendapatan bersih para juragan. Di warung burjo Toha di Kota
Cirebon, pendapatan karyawan yang bekerja 20 hari berkisar Rp 1,5 juta. Adapun
sang juragan bisa mendapatkan Rp 2 juta-Rp 4 juta.
Bekal persaudaraan
Para juragan burjo dari Kuningan selalu memegang teguh persaudaraan. Meski sudah sukses dan kaya, mereka tidak lupa kepada tetangga dan sanak saudara di desa. Aci, misalnya, saat membuka warung baru di Jakarta, awal Januari lalu, mengajak tiga pemuda di desanya bergabung untuk bekerja dan belajar di perantauan.
Para juragan burjo dari Kuningan selalu memegang teguh persaudaraan. Meski sudah sukses dan kaya, mereka tidak lupa kepada tetangga dan sanak saudara di desa. Aci, misalnya, saat membuka warung baru di Jakarta, awal Januari lalu, mengajak tiga pemuda di desanya bergabung untuk bekerja dan belajar di perantauan.
Dari pada tamat SMA menganggur, lebih baik ikut
saya. Gaji mungkin tak banyak, tetapi nantinya bisa belajar berwiraswasta, ujar
bos burjo yang punya tiga warung itu.
Meski sama-sama menjalankan bisnis burjo, bukan
persaingan yang muncul di antara para perantau ini. Rasa senasib justru lebih
mengemuka.
Ketika sakit, Ero (40), karyawan burjo Toha,
dibantu teman seperantauannya. Saat krisis moneter melanda, Supardja, juragan
burjo, tak pernah mem-PHK karyawan. Dalam kondisi sulit, ”anak didik”-nya rela
bekerja meski gajinya tertunda.
Dari cara seperti itulah para perantau asal
Kuningan membangun gurita bisnis yang kokoh dan tahan krisis. Selain mencari
rezeki, mereka juga membantu kehidupan teman sekampung.
Hasil bisnis burjo tidak sedikit.
Jika satu warung bisa menghasilkan Rp 4 juta per bulan, jumlah total pendapatan
1.000 warung dalam setahun mencapai Rp 48 miliar. Jumlah ini hampir setara
pendapatan asli Kabupaten Kuningan.
Para perantau itu pun membawa perubahan besar bagi
kampung halaman. Di Desa Kertayasa, jalan aspal sudah bukan lagi hal baru.
Parabola atau mobil roda empat menghiasi rumah-rumah para juragan burjo yang
kini bergelar haji. Jika 20 tahun lalu lulus SMA saja sudah luar biasa,
kini—menurut Lurah Kertayasa Oteng Sutara—sudah biasa bila para pemuda kuliah
di luar kota.
Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda
mengakui, para perantau telah menghidupkan bisnis transportasi dan mengurangi
pengangguran. Mereka menggerakkan ekonomi rakyat Kuningan secara keseluruhan.
Tradisi merantau dan berwirausaha inilah yang
mengubah wajah kehidupan masyarakat Kuningan. Seperti halnya para penjual jamu
dan bakso dari Wonogiri, atau pengusaha warung Tegal dari Jawa Tengah, mereka
memilih tidak berpangku tangan. Mereka berdiaspora membentuk kemandirian,
mengubah wajah suram tanah asal menjadi sebuah harapan.
sumber : http://www.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar